laman

Kamis, 01 Mei 2008

MENGAPA KITA DILARANG MENYEBUT "TUHAN"?

Penyebaran Kepercayaan ”Tu”

Bahwa pada masa dahulu, akar kepercayaan asli penduduk Asia Timur, Asia Tenggara, Polinesia, Mikronesia sampai dengan Amerika Latin terdapat titik-titik persamaan. Sebagai contoh dongeng ”Puteri Tujuh Turun Mandi” pada sebuah danau, lalu pakaian si puteri bungsu dicuri seorang pemuda. Lantas puteri bungsu kawin dengan pemuda itu, namun puteri bungsu kembali ke kahyangan setelah baju terbangnya ditemukan kembali.

Dongeng ini terdapat di Jawa, Sumatera serta tersebar di seluruh Asia Tenggara, dan titik persamaannya pada harimau jadi-jadian di Jawa dan Sumatera juga terdapat di Korea.

Ajaran kepercayaan penyembah pada ”Tu”, adalah berpangkal di Asia Tengah yang mungkin dianut beberapa suku Mongolid Purba, nenek moyang orang Cina, Tibet dan Jepang. Dan kemudian dianut pula oleh beberapa daerah di Cina Selatan, lalu karena terdesak suku Tsin (bukan Tsin), dan nenek moyang Suku Haka, sampailah suku-suku Protomelayu itu ke lembah-lembah Menam, Mekong dan Irawadi. Maka terjadilah percampuran di Asia Tenggara, antara suku-suku Protomelayu dan suku Cina Purba itu, yang menurunkan bangsa Anam dan Thai.

Pada tahun 2000 SM ada sebagian suku-suku Protomelayu itu tersebar ke arah selatan memasuki kepulauan Indonesia, Filipina, dan sebagian masuk ke India melalui Assam, di antara keturunannya ialah suku Munda; sebagian lagi menempuh pesisir Cina, dan sebagian dari mereka bermukim di Korea lalu bercampur darah, sedangkan sebagiannya lagi dari mereka ini turun ke Jepang. Kemudian bertemu dengan rombongan dari selatan. Dari kepulauan Indonesia sebagian berlayar ke Selandia Baru dan sekitarnya, Polinesia dan Mikronesia. Bahkan diduga penduduk asli Amerika Latin adalah keturunan mereka yang berasal dari Polinesia, sebab mungkin pengaruh arus laut mereka tersebar kembali ke arah barat.

Pokok Ajaran

”Tu” disebut ”Tao” atau ”Tee” atau ”Thian” (menurut ajaran Cina), ”Tu” atau ”Tuh” (mon dan Khmer), ”Tuh” (Melayu Purba dan Samiola), ”Tuh” (Kaharingan), ”Itoh” (Polinesia, ”Toh” (Maori), ”Taoroa” (Tahiti), ”Tou” (Guatemala), ”To”/”Sinto” (Jepang), ”Thi” (Huna), ”Teuh” (Beun dan Korea), ”Toun” (Tibet).

”Tu” menurut ajaran Melayu Purba dinamakan ”Tuh” (diberi akhiran ”an” menjadi ”Tuhan”), yakni Sangyang Tunggal yang hidup bersekutu dalam alam tetapi ”ia” sendiri bukan alam.

Di Jawa ajaran Pantheisme ini masih berbekas dalam Kejawen. Di luar Jawa terdapat dalam agama-agama lokal Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara dan agama lokal lainnya di Indonesia. Juga pada agama-agama lokal suku-suku terpencil di Myanmar, Thailand, Malaysia (suku Yakun), serta suku-suku terpencil lainnya di Asia Tenggara.

Pandangan Islam

Mengingat penyembah ”Tu” termasuk agama kultur, bersifat Pantheisme, maka sebutan ”Tuhan” adalah terlarang di dalam Islam. Yakni, Allah; Robb, Yang Maha Mendidik, Yang Maha Mengatur, dan Yang Maha Memelihara, adalah berdasarkan dalil QS Ash Shaffat, 37 : 125, dan lafadz ”La ilaha ilallah” (Tiada aturan yang pantas untuk ditaati, kecuali aturan Allah).

Disarikan dari Buku Parasit Aqidah

Tidak ada komentar: