laman

Minggu, 11 Mei 2008

JALIN PERSATUAN, POTENSI, KESATUAN MISI DAN VISI UMAT

Kecuali manusia pertama, maka secara kodrati, bahwa setiap insan dikeluarkan-Nya dari perut-perut ibunya masing-masing dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Hal ini sangat jelas diwahyukan-Nya di dalam Kitabullah (QS An Nahl, 16 : 78 ).

Kemudian dapat kita bayangkan, betapa tiada pernah ada ”kata berguna”, dan tercatat di dalam lembar-lembar perjalanan hidup manusia di permukaan bumi ini. Akan tetapi, Allah SWT memberikan kepada kita berupa indera pendengaran, penglihatan dan daya kemampuan berpikir. Sehingga lengkaplah kita sebagai manusia yang sempurna, yang berbeda dengan makhluk lainnya, sebagaimana dituliskan Ibnu Khaldun di dalam Muqoddimah, ”Mengenai kesanggupan manusia untuk berpikir sehingga membedakan jenisnya dari binatang, kecakapan dan kemampuannya mempelajari Robb yang disembahnya, serta wahyu-wahyu yang diterima para Rasul-Nya, sehingga semua binatang tunduk dan berada dalam kekuasaannya. Melalui kesanggupannya untuk berpikir itulah, Allah SWT mengaruniakan keunggulan di atas makhluk-makhluk yang lain.”

Dengan kemampuan pendengaran, penglihatan dan berpikir yang baik serta dipadukan dengan pemahaman terhadap wahyu melalui proses tadabbur Al Qur-an (QS Ali Imran, 3 : 164, QS Az Zumar, 39 : 18, QS An Nisa', 4 : 82, QS Muhammad, 47 : 24), maka manusia akan sanggup mencerna keempat tingkat ilmu (yang kesemuanya itu terkandung di dalam Al Qur-an), baik itu tingkat ilmu yang eksak (masalah fisik, alam semesta dan iptek), abstrak (masalah kejiwaan), relatif abstrak (masalah jin, ruh, malaikat, jannah, neraka, ’arsy), maupun tingkat ilmu yang absolut abstrak (masalah Allah SWT), yang hanya dapat diterima dengan kadar keimanan seseorang hamba-Nya.

Sedangkan kadar keimanan seseorang hamba itu pula yang akan sanggup mensyukuri nikmat, namun apabila tiada tadabbur Al Qur-an itu, maka ilmu pengetahuan dan teknologi akan dikembangkan tanpa kendali penyelarasan dengan alam dan lingkungan hidup, sehingga akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengeksploitasi alam, bahkan lebih kejam lagi, yaitu memeras manusia lainnya. Bukan dengan berbekal berbagai diploma ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan ambisi - bahkan bila perlu secara anarkis - menduduki ”kursi”, agar lancar nafsu kesenangan duniawiahnya, sebagimana yang dipropagandakan oleh kaum Sekuler dan Kapitalis dunia Barat, yaitu hedonisme dan snobisme.

Tanpa disadari penggunaan karunia Allah SWT tersebut dengan tanpa bimbingan wahyu, maka akan terjerat ke dalam suatu sistem yang dipola dan diprogram kaum Sekuler dan dunia Barat. Di satu pihak mereka memegangi para pejabat negara dan di sisi lain mereka menguasai dana internasional, ke dalam suatu bentuk mafia. Maka wajar saja apabila semakin sepat akselerasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seiring dengan kemajuan tingkat kejahatan, bukan hanya pada sebagian jajaran para pengambil keputusan di negeri ini, tetapi telah pula merebak pada hampir semua jajaran dan level pejabat pemerintah. Semakin besar dan tinggi berkas penyelewengan berbagai aset dan kekayaan negara, maka semakin sulit pula untuk membuktikannya.

Akan tetapi, Muslim yang berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi yang diseimbangkan serta diselaraskan dengan tuntutan batin atas dasar wahyu, maka indera pendengan dan penglihatan serta daya kemampuan pikirnya akan berkembang kepada :

1. Fuad-at Tamyiz, yaitu analisis untuk memilih yang bermanfaat dan berusaha untuk menghindari kemudlaratan;

2. Fuad-at Tajribi, yaitu analisis untuk memberi manfaat pada orang lain dan generasi, atas dasar pengalaman diri dan perjalanan sejarah, sehingga akan tercipta suatu sistem masyarakat yang adil dan makmur di bawah ridla Allah SWT;

3. Fuad-an Nadhori, yaitu analisis untuk menghasilkan kaidah ilmu, sehingga didapat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan untuk kesejahteraan umat manusia.

Keseimbangan dan keselarasan antara kemampuan mendengar, melihat dan analisis permasalahan dengan bimbingan wahyu adalah tidak serta merta dapat diwujudkan, apabila dengan cara-cara yang tidak dituntunkan dan dipandukan oleh Rasulullah saw, anarkis misalnya. Tetapi membutuhkan proses tadabbur Al Qur-an yang kontinyu dan berkesinambungan, sehingga tidak mudah bagi Muslim untuk melantangkan jalan menuju Penegakan Syari’at Islam, kecuali dengan menggunakan ”kendaraan shabar” dan ”pakaian jihad” (kerja keras dengan segenap kemampuan yang dimiliki) dalam menjalin kesatuan, potensi serta persatuan misi dan visi umat untuk menegakkan Kalimatullah di permukaan bumi Allah SWT.

Rabu, 07 Mei 2008

UPAYA PENEGAKAN SYARI’AT ISLAM

Lembar-lembar sejarah menorehkan dengan nada buram, bahwa suatu kaum, bangsa, bahkan umat manusia di permukaan bumi ini akan mudah sekali goyah dalam hal persatuan dan kesatuannya. Dewasa ini, salah satu yang menjadi faktor penyebab tumbangnya sokoguru persatuan dan kesatuan tersebut, yakni datangnya hempasan badai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperturutkan bermuara kepada percepatan hasil-hasil yang semata-mata dinilai secara material.

Kalau kita kritisi terhadap perjalanan sejarah negeri kita - yang sampai dengan saat sekarang telah beberapa kali berganti orde pemerintahan. Alih-alih penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa kepada ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, persatuan dan kesatuan yang menghubungkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai ke Merauke, kedamaian yang dirasakan oleh sebagian masyarakat, terancam sirna, terbawa arus disintergrasi dan gelombang perpecahan umat.

Aturan demi aturan yang dituangkan oleh para pendahulu, yang sungguh berharga itu, kian lama semakin terasa tidak relevan lagi. Kini terasa usang dalam menjawab tantangan zaman yang diistilahkan para pakar dengan pluralistik dan multidimensional. Jika sudah demikian, maka semestinya tali pengikat persatuan dan kesatuan dalam mewujudkan suatu ”perdamaian abadi”, bukanlah suatu ikatan ”sapu lidi”, melainkan suatu aturan yang mencerminkan suatu Metode Operasional yang tidak lapuk oleh hujan dan tiadalah pula lekang oleh teriknya matahari.

Singkat kata, bahwa bangsa Indonesia, bahkan segenap umat manusia dewasa ini memerlukan suatu aturan sebagai satu-satunya solusi nan pasti, mumpuni serta keberlakuannya tiada terbatas oleh batas-batas tembok wilayah, lestari sepanjang masa adanya.

***

Kembali kita membuka kertas-kertas sejarah dari kurun waktu yang telah berlalu, maka Islam mencatat adanya keberlakuan aturan yang bersumber dari wahyu, yang termaktub di dalam Kitabullah yang dibawa oleh para Rasul Ulul ’Azmi.

Dari suatu periodisasi kerasulan, maka masing-masing aturan disempurnakan dalam Kitab yang dibawa oleh Rasul berikutnya. Nuh a.s. sebagai Rasul peletak dasar Syari’at, sebagai pembawa Risalah, kemudian diperbaharui periode kerasulan Ibrahim a.s. Sepeninggal Ibrahim a.s. disempurnakan periode kerasulan Musa a.s. di dalam Taurat, lalu disempurnakan kembali periode kerasulan Isa a.s. melalui Kitab Injil. Periode kerasulan Muhammad saw dinyatakan sebagai Rasul Penutup yang mengemban amanah Risalah dari para Rasul terdahulu yang terangkum di dalam Kitab Al Qur-an, merupakan suatu aturan, sebagai Ad Din yang telah sempurna, dinyatakan tamat, dan telah pula diridlai (QS Al Maidah, 5 : 3), sekaligus sebagai norma Hukum (QS AL Jatsiyah, 45 : 20) yang keberlakuannya meliputi semesta alam (QS Al Anbiaya’, 21 : 107) dan lestari sampai akhir zaman.

***

Sebagai umat mutkhir yang mengakui Al Qur-an sebagai sumber inspirasi, sumber motivasi dan sebagai titik tolak mencari solusi dalam setiap menghadapi problem (QS Ali Imran, 3 : 138), maka sebagai umat pilihan (QS Al Hajj, 22 : 78), seharusnya menempatkan diri berada pada golongan orang-orang yang menyambut wasiat para Rasul, berkaca pada diri Rasulullah saw, sebagai penerus tongkat estafet penegakan Syari’at (QS Muhammad, 47 : 13), merupakan penyempurna langkah pengabdian (QS Al Dzariyat, 51 : 56).

Tersebab, tiadalah memadai bila hanya di dalam pengabdian itu sekadar dimensi vertikal dalam lingkup Rukun Iman dan Rukun Islam, melainkan pengabdian sesungguhnya menuntut pula pemenuhan dimensi horizontal yang mencakup hubungan dengan alam semesta, yang menghendaki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimuarakan kepada kemakmuran yang hakiki bagi seluruh umat manusia, sebagaimana fitrah alam semesta (QS Fushilat, 41 : 11 - 12). Dan dimensi konsekuensial yang lingkup cakupannya meliputi hubungan antarmanusia dan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan yang multidimensional dan pluralistik itu.

***

Hubungan antarmanusia dan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan yang multidimensional dan pluralistik itu, tiada akan pernah terjangkau oleh daya kemampuan pikir manusia - yang hanya terbatas kepada analisis masalah-masalah eksak dan abstrak (QS Ar Rum, 30 : 7).

Sedangkan aturan yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah relatif abstrak dan absolut bstrak, yakni masalah-masalah yang meliputi masalah keyakinan dan ketauhidan. Merupakan dua pokok permasalahan yang hanya dapat dicerna oleh akal, atas dasar bimbingan wahyu, yang tertuang di dalam Kitabullah dan panduan Rasulullah saw.

Untuk itu, suatu aturan yang dapat meliputi masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, tiada lain, adalah Syari’at Islam sebagai suatu Metode Operasional dalam keberlakuannya (QS Al Jatsiyah, 45 : 18).

***

Senin, 05 Mei 2008

"IDEOLOGI EKSPANSI" DUNIA BARAT TERHADAP ALAM DAN LINGKUNGAN

I. Pendahuluan

Suatu pandangan, bahwa kekristenan telah begitu meresap dalam dunia dan manusia Barat, sehingga pandangan dunia orang Barat begitu diwarnai serta dipengaruhi oleh kekristenan.

Kiranya belum ada belahan dunia manapun yang begitu saja diidentikkan dengan kekristenan selain Dunia Barat. Barangkali dengan pengecualian Amerika (Latin dan Utara), tetapi benua ini pun sudah begitu lama diduduki dan didominasi oleh para pendatang dari Dunia Barat (Eropa), sehingga mereka sebetulnya termasuk ’Dunia Barat’. Agaknya untuk Amerika Latin, jika ditinjau dari segi perkembangan ekonomi, termasuk Negara Berkembang, Negara Dunia Ketiga atau Negara Selatan.

Dunia ini dipilah-pilah antara Barat dan Timur, Utara dan Selatan. Pemilahan Utara dan Selatan lebih secara ekonomis daripada politis. Negara-negara Utara sering diidentikkan dengan kemajuan di bidang ekonomi dan pembangunan. Negara-negara Utara pun sering disebut Negara Dunia Pertama. Semetara itu Negara-negara Selatan diidentikkan dengan kemiskinan, ketertinggalan secara ekonomi dan pembangunan. Juga disebut sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang.

Berkenaan dengan kerusakan alam dan lingkungan, yang sudah sedemikian ”kuat sakitnya” ini, Dunia Barat (Eropa dan Amerika Serikat khususnya) dengan kekuatannya secara politis dan dalam bidang ekonomi serta kemajuan teknologi mereka, bersikeras bahwa, ”Sumbangan terbesar dari kerusakan alam dan lingkungan global adalah disebabkan oleh ’kesembronoan’ Dunia Timur”.

Akan tetapi, beberapa pakar dari kalangan mereka (Dunia Barat) sendiri, secara kritis dan tajam menyatakan bahwa, ’Sumber penyakit’ alam dan lingkungan global, disebabkan oleh sikap dari mereka terhadap alam dan lingkungan selama ini, yaitu dalam menafsirkan suatu bagian dari Kitab Kejadian (Genesis), adalah ’suatu tafsiran yang secara berlebihan’.”

II. Pengaruh Kitab Kejadian atas Konsepsi Dunia Barat terhadap Alam dan Lingkungan

Agama, ideologi dan pandangan hidup tertentu kiranya memainkan peranan penting dalam mempengaruhi konsepsi hubungan manusia dan alam. Dunia Barat yang sangat dipengaruhi oleh ”Tradisi Yahudi-Kristen”, sebab muncul memang dari lingkungan Yahudi, dengan Yesus Kristus sebagai tokoh sentralnya.

Agama Kristen - karena berakar dari lingkungan Yahudi - juga mengakui Kitab-kitab Suci Yahudi, yang disebut Kitab Perjanjian Lama, dan salah satunya, adalah Kitab Kejadian (Genesis), yaitu Kitab yang berisi kisah-kisah tentang terjadinya bermacam hal di alam semesta ini. Maka tak syak lagi, apabila pandangan atau konsepsi Dunia Barat terhadap alam dan lingkungan sangat dipengaruhi oleh Kitab Kejadian.

1. Pernyataan John Passmore : ”Teologi Kristen dipengaruhi Filsafat Yunani.”

Dalam pernyataan pengamat masalah-masalah ekologi, John Passmore bahwa, ”Kitab Kejadian - dan sebenarnya juga seluruh Perjanjian Lama - memang mengatakan bahwa, manusia adalah penguasa bumi dan segala isinya; ia memang berhak untuk martabat itu. Ayat yang dimaksud : ”Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka, ”Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berusahalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Genesis I : 27 - 28). Kitab itu sekaligus menegaskan, bahwa keadaan bumi, baik sebelum manusia diciptakan dan bahwa ia lebih untuk memuliakan Allah daripada untuk melayani manusia.

Hanya saja, pada akhirnya pernyataannya, Passmore mengambinghitamkan filsafat Yunani yang telah mempengaruhi Teologi Kristen, dan ungkapnya, ”Rupanya, daripada membiarkan alam itu seperti apa adanya dan hanya menggunakan apa yang telah ada itu, manusia cenderung memanipulasi alam sekehendak hatinya. Keinginan untuk memanfaatkan alam ini sebesar-besarnya, dengan kalau perlu mengubahnya (dalam arti merusak alam ini dari situasinya yang asali), kemudian menemukan pengungkapannya dalam filsafat, yang menganggap manusia sebagai satu-satunya pengelola alam dan bahwa bumi ini adalah sekadar sistem raksasa mesin-mesin yang siap dipakai dan direkayasa semaunya. Inilah filsafat yang secara khusus dan tepat sekali. Sayangnya, justru ideologi inilah yang telah membentuk seluruh Tradisi Barat dan - lebih celaka lagi telah pula diekspor ke Dunia Timur.”

Bahwa Filsafat yunani yang berakar dari tema persahabatan (philia) pada Etika Phytagorean, yang merupakan suatu ajaran tentang harmoni, malah cenderung menyarankan keselarasan antara manusia dan alam.

Jadi, tudingan Passmore, bahwa Teologi Kristen dipengaruhi oleh Filsafat Yunani, khususnya Dunia Barat dalam menyikapi alam dan lingkungan agaknya sedikit kurang beralasan.

2. Pernyataan Robert Faricy : ”Teologi Protestan dan Tradisi Katholik.”

Robert Faricy adalah seorang pakar ilmu Ketuhanan pada Universitas Gregorian, Perguruan Tinggi yang prestesius di Roma, Italia. Faricy mempunyai pandangan lain, kendati sama-sama bertumpu dari Tradisi Yahudi Kristen. Ternyata antara Gereja Protestan dan Gereja Katholik mempunyai sikap berbeda dalam memandang alam.

Menurut Faricy, ”Sehubungan dengan relasi manusia dan alam harus dibedakan antara Protestan (dari reformasi) dan konsepsi Katholik (yang meliputi juga Gereja Ortodoks dan Anglikan). Gereja Protestan cenderung mempertentangkan manusia dengan alam, sedangkan Gereja Katholik tidaklah demikian. Sikap Gereja Protestan adalah berakar dari ajaran Martin Luther (1483 - 1546, Pendiri Gereja Protestan) tentang ”Dua Kerajaan”. Kerajaan Kristus dan Kerajaan Dunia dilihat semacam pertentangan (antitese). Ada tegangan antara ”dunia” dan gereja, antara orde antitese berhadapan dengan alam. Oleh sebab itu, sebagian besar Tradisi Protestan menafsirkan mandat yang diberikan Allah kepada manusia untuk menguasai lingkungannya, berdasarkan teologi ”Dua Kerajaan” ini. Alhasil, relasi manusia dengan alam cenderung menjadi suatu hubungan eksploitatif, mengarah untuk menundukkan alam. Sedangkan di lain pihak, dalam Tradisi Katholik (terutama tampak) yang melihat ”dunia” dan gereja dalam suatu sintese, manusia dan alam dipahami dalam suatu hubungan yang lebih positif.

3. Pernyataan Thomas Sieger Derr : ”Dua versi berbeda dalam Kitab Kejadian.”

Sementara itu Derr melihat hal lain dari Kitab Kejadian, ia menunjuk pada dua versi kisah Taman Firdaus dalam Kitab Kejadian sebagai penyebab sikap ekologis yang ambivalen pada manusia Barat. Seperti diterima oleh banyak peneliti, terdapat dua versi tentang penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian :

- Versi I, yang disebut Tradisi J (Tahwis), melukiskan bahwa manusia diciptakan dari ”debu tanah”; dan

- Versi II, yang disebut Tradisi P (Imam), yang menganggap bahwa manusia tercipta sebagai ”gambar Allah”.

Pandangan yang berbeda ini, menurut Derr, tentu saja membawa implikasi yang berbeda pula. Dan sebagai konsekuensinya, timbullah suatu situasi mendua pada manusia, di satu pihak dia tidak dapat berasal dari alam, suatu makhluk biologis; di lain pihak, dia terpisah dari (atau mengatasi alam). Akan tetapi, justru ambiguitas ini yang diterima dalam kesadaran kultural Barat, yang dewasa ini menjadi budaya ilmiah teknologis.

Lebih jauh Derr mengatakan, ”Sejak Genesis dan selanjutnya, manusia dipahami sebagai kesatuan dari biologis dan yang rohani, selalu keduanya sekaligus, tidak pernah lepas dari alam, dan tidak pernah tanpa dominasinya yang khas atas alam.”

III. ”Ideologi Ekspansi” Dunia Barat : Ideologi Anti-ekologi

Sikap manusia Barat dengan latar belakang kekristenannya, cukup mendua seperti yang diutarakan para pakar di atas, namun dalam perkembangan selanjutnya, sikap eksploitatif terhadap alam dan lingkungan menjadi lebih dominan. Sikap ini menurut seorang pengamat masalah lingkungan hidup, Ole Johnson, agaknya disuburkan ”Ideologi Ekspansi” Dunia Barat.

Hal tersebut cocok dengan kecaman-kecaman Erich Fromm (1900 - 1980, Filsuf dan Psiko-analisa penganut paham NeoFreudian, asal Jerman), dan Herbert Marcuse (1898 - 1979, Filsuf mazhab Frankfurt, yang pindah ke AS, dan disebut sebagai penganut paham NeoMarxis) terhadap masyarakat industri modern yang terutama terdapat di Dunia Barat.

Fromm menyatakan, ”Watak sosial eksploitatif mempunyai ciri semangat penjajahan, ... suatu cara memperoleh yang sangat mengandalkan kepada kekuatan dari kekuasaan yang mereka miliki sendiri.” Dan, ”Bahwa yang menguasai masyarakat industri kini adalah ’Orientasi Memiliki’.” Sedangkan Mancuse merumuskan, ”Bahwa masyarakat Barat diperbudak oleh sistem teknologis, yaitu sistem produksi dan konsumsi.”

Terdapat dua motif yang menentukan di balik pertumbuhan, bahkan kemajuan hebat ekonomi Barat, di satu pihak yang mengakibatkan kemiskinan ekonomi Dunia Berkembang yang semakin parah; di lain pihak, yaitu :

- Sistem ekonomi Barat yang diatur sedemikian rupa, sehingga apabila pertumbuhan macet (tidak meningkat secara terus-menerus), maka meletuslah kritis hebat; dan

- Sikap dan kepercayaan Barat, adalah ”Ideologi Ekspansi”

Sebagai ilustrasi, bahwa ”Ideologi Ekspansi” di bidang ekonomi, timbul dalam ”Semangat Material” Dunia Barat. Bantuan yang diberikan untuk negara-negara berkembang berkedok perkembangan, sungguh berdampak negatif, sebagaimana yang disindir Johnson, ”Kalau kita bicara tentang bantuan untuk perkembangn, adalah ’perkembangan’ berarti apa yang kita mengerti dengan istilah ini, yaitu suatu ekspansi material seperti yang ada di Barat.”

Untuk lebih jelasnya, kita lihat dari apa yang diungkapkan Dirjen FAO, Dr Edouard Saouma, ”Suatu contoh dari kasus ini, misalnya bantuan yang diberikan dalam bentuk tepung terigu kepada negara-negara berkembang. Penduduk negara-negara ini kemudian jadi terbiasa makan roti dan produk-produk lain yang terbuat dari gandum. Padahal tanaman jenis ini tumbuh sulit tumbuh di daerah tropis. Akibatnya bisa diduga, setelah bantuan dihentikan, maka terpaksa mulai mengimpor gandum dari luar, cadangan devisa jadi merosot, konsumsi makanan tradisional - yang bahannya ditanam di tempat - makin berkurang, dan negara yang bersangkutan semakin lemah terhadap tekanan dan politis negara pemasok.” (Ceramah di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Gregorian, Roma, 5 April 1984, via Philips Rusian Sakti).

Jadi, pertolongan yang diberikan untuk negara-negara yang sedang berkembang seringkali tidak cocok dengan situasi mereka. Hasilnya jauh dari bermanfaat. Dan kesemuanya itu disebabkan Dunia Barat secara eklusif menentukan sendiri pengertian ”perkembangan”, suatu konsep yang bercakrawala sempit dan secara sepihak. Tentu saja dalam semangat ekspansi material seperti demikian, segala jenis himbauan untuk berhati-hati memanfaatkan sumber daya alam tidak akan pernah mendapat tanggapan positif dari mereka.

Passmore secara secara kritis dalam memberikan penilaian terhadap Agama Kristen - agama yang berpengaruh dan berperan besar dalam membentuk kebudayaan Barat dewasa ini. Menurutnya, ... yang secara ekologis berbahaya dalam kekristenan sesungguhnya bukanlah ia menolak kesakralan alam, tetapi ia memberanikan diri manusia untuk percaya kalau mereka adalah, ”Anak Allah”, dan karenanya menjadi yakin bahwa keberadaan mereka di bumi ini dijamin oleh Allah.”

”Hal seperti ini memberi peluang untuk Hybris (dari kata Yunani yang berarti ”kecongkakan”; menurut kepercayaan Yunani kuna, kesalahan manusia yang paling besar, adalah melewati batas insani; dan Hybris ini dapat membawa malapetaka, sebab akan menimbulkan iri hati para dewa mereka). Dengan sikap tak tahu diri ini, alam dan lingkungan dianggap sebagai sumber yang dapat dikuras semaunya tanpa khawatir akan dihukum,” demikian papar Passmore.

Fromm secara pedas, ”Bahwa manusia dalam masyarakat industri modern keranjingan memiliki, kalau perlu bahkan merampas dari sesmanya, barang-barang material tanpa kunjung puas, manusia ,odern telah menjadi manusia serakah, yang suka melahap segala sesuatu tanpa batas.”

Nafsu memiliki ini secara tak langsungmemaksakan konsumerisme kepada manusia, yang oleh Fromm disebutnya ”Orientasi Memiliki” yang melanda dan memperbudak masyarakat industri Barat. Tentu saja berakibat macam-macam ekses negatif, seperti pengurasan sumber-sumber daya alam, yang pada akhirnya membawa bencana ekologi yang dahsyat.

Dan Mancuse membongkar sisi gelap dari masyarakat industri modern, ”Masyarakat yang manusianya dijajah oleh suatu prinsip teknologis adalah ’bagaimana memperlancar, memperluas, dan memperbesar produksi’. Segala dimensi lain dari manusia dan hidupnya, menjadi sekunder dibandingkan dengan tujuan pokok tersebut. Maka dalam mentalitas semacam itu, berbicara tentang pelestarian lingkungan juga menjadi sia-sia.”

IV. Kesimpulan

Pandangan Dunia Barat dalam konsepsi hubungan alam dan lingkungan, adalah sangat dipengaruhi oleh Tradisi Yahudi-Kristen, melahirkan watak eksploitasi yang sangat mengandalkan kepada kekuatn dan kekuasaan yang mereka miliki, serta dengan berpijak pada tafsiran ayat dari Kitab Kejadian (Genesis) pasal I : 28 - 29, yang cenderung memanipulasi alam dan lingkungan sekehendak hati mereka, dan keinginan untuk memanfaatkan alam dengan sebesar-besarnya, kalau perlu mengubahnya dan merusak dari situasinya yang asali.

Keberanian Dunia Barat ini, adalah disebabkan oleh faktor kecongkakan mereka. Mereka merasa sebagai ”Anak Allah”, dan berkeyakinan bahwa keberadaan mereka di bumi adalah dijamin oleh Allah. Sehingga suburlah ”Ideologi Ekspansi” Dunia Barat baik di bidang ekonomi dengan semangat materialnya, maupun di bidang ekologi yang sangat membahayakan bagi kelestarian alam dan lingkungan.

Bacaan :

Borgias, Fransiskus. 1992. ”Kekristenan Dunia Barat : Hanya Kulit Luar?”.Makalah. Jakarta

Sakti, Philips Rusihan. 1991. ”Sikap yang Tepat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam”. Makalah. Jakarta

Kamis, 01 Mei 2008

MENGAPA KITA DILARANG MENYEBUT "TUHAN"?

Penyebaran Kepercayaan ”Tu”

Bahwa pada masa dahulu, akar kepercayaan asli penduduk Asia Timur, Asia Tenggara, Polinesia, Mikronesia sampai dengan Amerika Latin terdapat titik-titik persamaan. Sebagai contoh dongeng ”Puteri Tujuh Turun Mandi” pada sebuah danau, lalu pakaian si puteri bungsu dicuri seorang pemuda. Lantas puteri bungsu kawin dengan pemuda itu, namun puteri bungsu kembali ke kahyangan setelah baju terbangnya ditemukan kembali.

Dongeng ini terdapat di Jawa, Sumatera serta tersebar di seluruh Asia Tenggara, dan titik persamaannya pada harimau jadi-jadian di Jawa dan Sumatera juga terdapat di Korea.

Ajaran kepercayaan penyembah pada ”Tu”, adalah berpangkal di Asia Tengah yang mungkin dianut beberapa suku Mongolid Purba, nenek moyang orang Cina, Tibet dan Jepang. Dan kemudian dianut pula oleh beberapa daerah di Cina Selatan, lalu karena terdesak suku Tsin (bukan Tsin), dan nenek moyang Suku Haka, sampailah suku-suku Protomelayu itu ke lembah-lembah Menam, Mekong dan Irawadi. Maka terjadilah percampuran di Asia Tenggara, antara suku-suku Protomelayu dan suku Cina Purba itu, yang menurunkan bangsa Anam dan Thai.

Pada tahun 2000 SM ada sebagian suku-suku Protomelayu itu tersebar ke arah selatan memasuki kepulauan Indonesia, Filipina, dan sebagian masuk ke India melalui Assam, di antara keturunannya ialah suku Munda; sebagian lagi menempuh pesisir Cina, dan sebagian dari mereka bermukim di Korea lalu bercampur darah, sedangkan sebagiannya lagi dari mereka ini turun ke Jepang. Kemudian bertemu dengan rombongan dari selatan. Dari kepulauan Indonesia sebagian berlayar ke Selandia Baru dan sekitarnya, Polinesia dan Mikronesia. Bahkan diduga penduduk asli Amerika Latin adalah keturunan mereka yang berasal dari Polinesia, sebab mungkin pengaruh arus laut mereka tersebar kembali ke arah barat.

Pokok Ajaran

”Tu” disebut ”Tao” atau ”Tee” atau ”Thian” (menurut ajaran Cina), ”Tu” atau ”Tuh” (mon dan Khmer), ”Tuh” (Melayu Purba dan Samiola), ”Tuh” (Kaharingan), ”Itoh” (Polinesia, ”Toh” (Maori), ”Taoroa” (Tahiti), ”Tou” (Guatemala), ”To”/”Sinto” (Jepang), ”Thi” (Huna), ”Teuh” (Beun dan Korea), ”Toun” (Tibet).

”Tu” menurut ajaran Melayu Purba dinamakan ”Tuh” (diberi akhiran ”an” menjadi ”Tuhan”), yakni Sangyang Tunggal yang hidup bersekutu dalam alam tetapi ”ia” sendiri bukan alam.

Di Jawa ajaran Pantheisme ini masih berbekas dalam Kejawen. Di luar Jawa terdapat dalam agama-agama lokal Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara dan agama lokal lainnya di Indonesia. Juga pada agama-agama lokal suku-suku terpencil di Myanmar, Thailand, Malaysia (suku Yakun), serta suku-suku terpencil lainnya di Asia Tenggara.

Pandangan Islam

Mengingat penyembah ”Tu” termasuk agama kultur, bersifat Pantheisme, maka sebutan ”Tuhan” adalah terlarang di dalam Islam. Yakni, Allah; Robb, Yang Maha Mendidik, Yang Maha Mengatur, dan Yang Maha Memelihara, adalah berdasarkan dalil QS Ash Shaffat, 37 : 125, dan lafadz ”La ilaha ilallah” (Tiada aturan yang pantas untuk ditaati, kecuali aturan Allah).

Disarikan dari Buku Parasit Aqidah