laman

Rabu, 07 Mei 2008

UPAYA PENEGAKAN SYARI’AT ISLAM

Lembar-lembar sejarah menorehkan dengan nada buram, bahwa suatu kaum, bangsa, bahkan umat manusia di permukaan bumi ini akan mudah sekali goyah dalam hal persatuan dan kesatuannya. Dewasa ini, salah satu yang menjadi faktor penyebab tumbangnya sokoguru persatuan dan kesatuan tersebut, yakni datangnya hempasan badai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperturutkan bermuara kepada percepatan hasil-hasil yang semata-mata dinilai secara material.

Kalau kita kritisi terhadap perjalanan sejarah negeri kita - yang sampai dengan saat sekarang telah beberapa kali berganti orde pemerintahan. Alih-alih penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa kepada ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, persatuan dan kesatuan yang menghubungkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai ke Merauke, kedamaian yang dirasakan oleh sebagian masyarakat, terancam sirna, terbawa arus disintergrasi dan gelombang perpecahan umat.

Aturan demi aturan yang dituangkan oleh para pendahulu, yang sungguh berharga itu, kian lama semakin terasa tidak relevan lagi. Kini terasa usang dalam menjawab tantangan zaman yang diistilahkan para pakar dengan pluralistik dan multidimensional. Jika sudah demikian, maka semestinya tali pengikat persatuan dan kesatuan dalam mewujudkan suatu ”perdamaian abadi”, bukanlah suatu ikatan ”sapu lidi”, melainkan suatu aturan yang mencerminkan suatu Metode Operasional yang tidak lapuk oleh hujan dan tiadalah pula lekang oleh teriknya matahari.

Singkat kata, bahwa bangsa Indonesia, bahkan segenap umat manusia dewasa ini memerlukan suatu aturan sebagai satu-satunya solusi nan pasti, mumpuni serta keberlakuannya tiada terbatas oleh batas-batas tembok wilayah, lestari sepanjang masa adanya.

***

Kembali kita membuka kertas-kertas sejarah dari kurun waktu yang telah berlalu, maka Islam mencatat adanya keberlakuan aturan yang bersumber dari wahyu, yang termaktub di dalam Kitabullah yang dibawa oleh para Rasul Ulul ’Azmi.

Dari suatu periodisasi kerasulan, maka masing-masing aturan disempurnakan dalam Kitab yang dibawa oleh Rasul berikutnya. Nuh a.s. sebagai Rasul peletak dasar Syari’at, sebagai pembawa Risalah, kemudian diperbaharui periode kerasulan Ibrahim a.s. Sepeninggal Ibrahim a.s. disempurnakan periode kerasulan Musa a.s. di dalam Taurat, lalu disempurnakan kembali periode kerasulan Isa a.s. melalui Kitab Injil. Periode kerasulan Muhammad saw dinyatakan sebagai Rasul Penutup yang mengemban amanah Risalah dari para Rasul terdahulu yang terangkum di dalam Kitab Al Qur-an, merupakan suatu aturan, sebagai Ad Din yang telah sempurna, dinyatakan tamat, dan telah pula diridlai (QS Al Maidah, 5 : 3), sekaligus sebagai norma Hukum (QS AL Jatsiyah, 45 : 20) yang keberlakuannya meliputi semesta alam (QS Al Anbiaya’, 21 : 107) dan lestari sampai akhir zaman.

***

Sebagai umat mutkhir yang mengakui Al Qur-an sebagai sumber inspirasi, sumber motivasi dan sebagai titik tolak mencari solusi dalam setiap menghadapi problem (QS Ali Imran, 3 : 138), maka sebagai umat pilihan (QS Al Hajj, 22 : 78), seharusnya menempatkan diri berada pada golongan orang-orang yang menyambut wasiat para Rasul, berkaca pada diri Rasulullah saw, sebagai penerus tongkat estafet penegakan Syari’at (QS Muhammad, 47 : 13), merupakan penyempurna langkah pengabdian (QS Al Dzariyat, 51 : 56).

Tersebab, tiadalah memadai bila hanya di dalam pengabdian itu sekadar dimensi vertikal dalam lingkup Rukun Iman dan Rukun Islam, melainkan pengabdian sesungguhnya menuntut pula pemenuhan dimensi horizontal yang mencakup hubungan dengan alam semesta, yang menghendaki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimuarakan kepada kemakmuran yang hakiki bagi seluruh umat manusia, sebagaimana fitrah alam semesta (QS Fushilat, 41 : 11 - 12). Dan dimensi konsekuensial yang lingkup cakupannya meliputi hubungan antarmanusia dan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan yang multidimensional dan pluralistik itu.

***

Hubungan antarmanusia dan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan yang multidimensional dan pluralistik itu, tiada akan pernah terjangkau oleh daya kemampuan pikir manusia - yang hanya terbatas kepada analisis masalah-masalah eksak dan abstrak (QS Ar Rum, 30 : 7).

Sedangkan aturan yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah relatif abstrak dan absolut bstrak, yakni masalah-masalah yang meliputi masalah keyakinan dan ketauhidan. Merupakan dua pokok permasalahan yang hanya dapat dicerna oleh akal, atas dasar bimbingan wahyu, yang tertuang di dalam Kitabullah dan panduan Rasulullah saw.

Untuk itu, suatu aturan yang dapat meliputi masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, tiada lain, adalah Syari’at Islam sebagai suatu Metode Operasional dalam keberlakuannya (QS Al Jatsiyah, 45 : 18).

***

Tidak ada komentar: